kolaborasi-tiga-sektor-gerakan-literasi

Ada yang menarik dalam ceramah Dr. Firman Hadiansyah, ketua Pengurus Pusat Forum TBM, pada seminar memperingati ulang tahun Forum Lingkar Pena (FLP) ke-22 di Gedung Balai Pustaka, Jakarta (22/2). Diawali dengan membandingkan pembaca pop dan sastra serius, Firman menukik pada realitas gerakan literasi, dengan pertanyaan klasik: “Bagaimana mungkin seseorang membaiat diri sebagai penggerak literasi tetapi tidak meluangkan waktu secara periodik untuk membaca dan selalu gagap ketika harus menulis?”

Pertanyaan menohok itu juga disampaikan oleh beberapa pihak, termasuk saya sendiri. Bahkan penulis Iqbal Dawami (2018), menggelari yang demikian sebagai pseudo-literasi atau penggerak literasi palsu. Wajarlah kalau istilah pseudo-literasi muncul mengingat membaca dan menulis, menurut Firman, merupakan kiblat gerakan literasi.

Tetapi ada poin yang cukup membetot dari ceramah Firman (tulisan yang menjadi bahan ceramah Firman bisa dilihat di www.forumtbm.or.id), bahwa massif dan menyebarnya gerakan literasi di negeri ini digawangi oleh mereka yang terpapar pertanyaan di atas. Sekarang ini, kata Firman, istilah aktivis literasi tidak hanya berafiliasi dengan orang-orang dari dunia akademik, pustakawan, sastrawan, penulis, jurnalis, sejarawan, para pemikir. Saat ini, gelar tersebut dengan mudah bisa disandang siapa saja. Ada tukang bemo, tukang kuda, pramu bakti, anak motor dan kelas yang dipandang marginal lainnya. Setelah sekian lama membaca dan menulis termasuk kampanyenya dimonopoli sekelompok elite, di tangan para gerilyawan literasi, kegiatan dan kampanye menjadi lebih membumi. Harus disadari memang, dulu perpustakaan adalah tempat yang harus didatangi. Namun di tangan para gerilyawan literasi ini, buku-buku yang mendatangi pembaca lewat berbagai gerakannya seperti lapak buku di emperan toko, di alun-alun saat car free day, atau memanfaatkan ruang-ruang publik seperti puskesmas, poskamling, penjara, di kolong jembatan layang dan sebagainya.

Gerakan yang diinisiasi oleh kalangan non-elite akademik yang terjadi secara komunal memang menciptakan efek bola salju yang sangat besar. Pemerintah menyambut dengan baik dan memandangnya sebagai partisipasi masyarakat. Berbagai program dibuat dan digelontorkan.

Pekerjaan Rumah

Hari ini, terdapat dua pekerjaan rumah yang harus dihadapi seluruh stakeholder literasi. Pertama, “rekonsiliasi” antara kalangan elite dan non-elite akademik. Mau tidak mau, pergeseran aktor gerakan literasi dari elite ke non-elite menghasilkan residu yang berpotensi konflik. Kita masih menemukan bagaimana kalangan elite akademik masih “berseteru” dengan kalangan non-elite. Contoh paling segar dan cukup menyedot perhatian—karena terjadi dalam ekologi politik Indonesia—bagaimana politisi Fadli Zon mempertanyakan jenis bacaan Presiden Jokowi. Seperti dikutip laman CNN Indonesia, Fadli Zon melontarkan komentar, “...kita tidak temukan presiden bacanya komik doraemon dan sinchan.” Komentar Fadli disinyalir merujuk pada pemberitaan media yang menerangkan bahwa Presiden Jokowi mengisi waktu senggangnya dengan membaca Doraemon, Sinchan dan Ko Ping Ho.

Komentar Fadli Zon, meski dalam nuansa politis, dengan terang bisa kita lihat menjadi gambaran bagaimana “ketegangan” antara kalangan elite akademik dengan yang non-elite. Fadli menyeolah-olahkan bahwa para tokoh bangsa bacaannya haruslah yang berat-berat. Dan bacaan berat seolah-olah menjadi satu-satunya alat ukur tingkat intelektualitas seseorang (Hadiansyah, 2019).

Demi kebaikan bangsa, apalagi berbagai lembaga survey dunia kerap memosisikan Indonesia di posisi buncit dalam pemeringkatan tentang minat baca, ketegangan seperti di atas rasanya tidak perlu. Kalangan elite dan non-elite akademik harus bergandengan tangan, saling berbagi peran, mengisi ruang yang masih kosong. Karena ada ruang-ruang tertentu yang tidak bisa diisi kalangan elite akademik justru bisa diisi oleh kalangan non-elite, demikian pula sebaliknya.

Pekerjaan rumah yang kedua adalah bagaimana secara bersama-sama, gerakan literasi yang sudah demikian massif ini, diberikan ruh. Tujuannya agar gerakan literasi tidak menjadi sebatas seremonial. Di sini diperlukan kerja sama tiga stakeholder literasi, yaitu kalangan elite akademik, kalangan non-elite akademik, dan pemerintah sebagai wakil pemerintah yang memiliki kebijakan sekaligus anggaran.

Kalau ketiga stakeholder literasi ini mampu bekerja sama dengan baik, maka yang diuntungkan adalah masyarakat. Kolaborasi akademisi, pegiat literasi di lapangan dan pemerintah, insya Allah, akan mampu menjadi instrumen titik balik literasi untuk kebangkitan negeri yang kerap dipandang sebelah mata oleh—lembaga survey—dunia internasional.

*Dosen FISIP UNMA Banten & Anggota Dewan Perpustakaan Prov Banten